Shigetada Nishijima satu-satunya saksi
hidup peristiwa bersejarah perumusan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Shigetada Nishijima telah berumur 90 tahun yang kini hidup bersama isterinya di
suatu apartemen di Tokyo.Menjelang proklamasi kemerdekaan, Nishijima banyak
membantu para pemuda, antara lain Adam Malik, Sukarni, Chairul Saleh, Elkana
Lumban Tobing, B.M. Diah,
Wikana, Pandu, dan lain-lain.
Nishijima adalah pribadi yang menarik.
Dia seorang yang periang, ingatannya masih cerelang, suaranya lantang, fasih
berbahasa Indonesia, Inggris, dan Belanda. Sebelum pendudukan Jepang, Nishijima
tinggal di Jakarta, kemudian pindah ke Bandung sebagai pegawai di Toko Jepang,
Chiyoda. Karena pergaulannya yang erat dengan para pemuda pejuang Indonesia
menjelang pendudukan Jepang, pemerintah colonial Belanda menangkap Nishijima.
Dia mendekam di kamp tahanan politik berpenghuni kira-kira 500 orang di Garut.
Di antara tahanan itu ada Adam Malik, Asmara Hadi, S.K. Trimurti, dan
lain-lain.
Pada masa pendudukan Jepang, Nishijima
adalah tangan kanan sekaligus penerjemah bagi Laksamana Tadashi Maeda.
Menjelang proklamasi kemerdekaan, Nishijima banyak membantu para pemuda, antara
lain Adam Malik, Sukarni, Chairul Saleh, Elkana Lumban Tobing, B.M. Diah,
Wikana, Pandu, dan lain-lain.
Basyral Hamidy Harahap adalah seorang
pewancara yang mewawancari Shigetada Nishijima pada tanggal 10 Oktober 2000 di
Meguro-ku, Tokyo. Wawancara dengan Nishijima pada saat
itu difokuskan pada peristiwa perumusan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
pada tanggal 16 Agustus 1945 malam di kediaman Laksamana Tadashi Maeda di Jalan
Imam Bonjol 1, Jakarta Pusat sekarang.
Laksamana Tadashi Maeda dan Shigetada
Nishijima telah sepakat, bertekad bulat untuk tidak menceritakan kepada Sekutu
tentang keterlibatan mereka dalam perumusan naskah Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia itu. Alasannya antara lain untuk melindungi nama baik Republik
Indonesia. Terlebih, Sekutu sudah mencium keterlibatan pihak Jepang. Sekutu
menuduh bahwa Proklamasi itu adalah rekayasa pihak Jepang. Di bawah ini
beberapa petikan wawancara dengan Shigetada Nishijima, sebagai berikut:
Pewancara : Basyral Hamidy Harahap
Narasumber : Shigetada Nishijima
·
Tanya (T): Pak Nishijima, bagaimana
sikap Laksamana Tadashi Maeda dan Pak Nishijima sendiri menghadapi tuduhan
Sekutu tentang keterlibatan pihak Jepang dalam perumusan naskah Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia tanggal 16 Agustus 1945?
Jawab
(J):
Terus terang, Laksamana Muda T. Maeda dan saya berusaha sekeras-kerasnya untuk
menjaga nama baik Republik Indonesia, agar jangan sampai Belanda bisa mengecap RI itu sebagai bikinan
Jepang. Pada akhir bulan Desember 1946, E.S. Pohan sebagai war crime's suspect,
dipindahkan dari salah satu tempat ke penjara Gang Tengah. Dia dimasukkan ke
double sel yang tadinya ditempati Tuan T. Maeda. Kemudian Tuan T. Maeda
dipindahkan ke dalam sel saya. Memang ini adalah kesalahan dari pihak pengurus
penjara. Karena Tuan T. Maeda dan saya masih belum diperiksa mengenai rapat dan
kejadian di rumah Tuan T. Maeda. Kami berdua merasa amat senang. Kami berunding
betul-betul sampai mana boleh terus terang dan mana harus tinggal diam saja mengenai
perumusan naskah proklamasi.
Karena pada waktu itu Belanda berusaha
keras untuk mengecap Republik sebagai bikinan Jepang. Karena apa? Karena
tanggalnya ditulis ‘05. ’05 artinya artinya tahun Jepang, bukan ’45. Biarpun
pemeriksa berturut-turut empat hari menekan saya sampai akhirnya mengeluarkan
air kencing berdarah, saya tetap tidak mengaku. Umur saya waktu itu hamper 36
tahun dan masih bisa tahan.
·
T: Siapa saja yang duduk di meja bundar
ketika merumuskan naskah Proklamasi itu?
J: (Sambil menggambarkan suasana di
ruangan itu Nishijima berkisah). Di sini duduk Tuan Maeda, Tuan Sukarno, Tuan
Hatta, Mr. Subarjo, saya sendiri, Tuan Yoshizumi, dan S. Miyoshi dari Angkatan
Darat. Kami membicarakan bagaimana teks proklamasi. Pemuda ada di luar, antara
lain Sukarni, Chairul Saleh dan yang lainnya. Pemuda meminta agar supaya teks
itu bunyinya keras, artinya hebat. Padahal saya sendiri sebagai pihak Jepang,
apalagi saya tahu sedikitnya international law bahwa jika pihak Jepang mengakui
dan menyetujui teks itu, kita akan dimarahi oleh Sekutu. Jadi kata-kata itu
harus dirumuskan. Sehingga ada perubahan-perubahan. Perubahan itu, tentang kata
penyerahan, dikasihkan, atau diserahkan. Itu tidak bisa. Perebutan juga kita
tidak mau mengakuinya. Sehingga di sini diadakan pemindahan kekuasaan. Sukarno
sendiri menulis diselenggarakan. Pihak Indonesia tidak mengakui bahwa itu
dicampuri oleh Jepang.
·
T: Apakah Pak Nishijima pernah menulis
tentang peristiwa perumusan naskah Proklamasi itu?
J: Saya dan sudara Koichi Kishi sudah menerbitkan
buku tentang pendudukan Jepang di Indonesia dalam bahasa Jepang berjudul
Indonesia niokeru Nihon Gunsei no Kenkyu yang diterbitkan pada bulan Mei 1959.
Soal perumusan juga tertera di dalam buku itu. Tidak kurang dari 100 tulisan
ditambah televise BBC London dan NHK Tokyo yang menyiarkan keterlibatan saya
dalam perumusan naskah Proklamasi.
·
T: Bagaimana pendapat Pak Nishijima
tentang sikap pihak Indonesia yang tidak mengakui keterlibatan Jepang dalam
penyusunan naskah Proklamasi itu?
J: Saya memahami perasaan pihak Indonesia
bahwa soal proklamasi itu betul-betul peristiwa bersejarah. Jadi mereka tidak
mau mengakui bahwa orang Jepang campur tangan dalam hal itu.
·
T: Bagaimana reaksi pemimpin-pemimpin
Indonesia terhadap klarifikasi Pak Nishijima bahwa sebenarnya pihak Jepang
mengambil bagian dalam perumusan Proklamasi itu?
J: Sampai sekarang saya tidak menerima
“bantahan secara terbuka” dari pihak Indonesia, baik dari pelaku-pelaku maupun
pemuda-pemuda atau pemimpin-pemimpin yang mengintip.
·
T: Apakah ada saksi lain yang dapat
membenarkan keterangan Pak Nishijima itu?
J: Ada, Nyonya Satsuki Mishima, alamat
1-28-16, Bukomotomachi, Amagasaki-shi, telepon 064-31-2509. Dialah yang
menyediakan makan sahur bagi Bung Karno dan Bung Hatta. Saya Tanya kepadanya
tentang berapa orang Jepang duduk di meja bundar bersama-sama Bung Karno, Drs.
Hatta dan Mr. Subarjo. Dia menjawab tegas bahwa ada Laksamana T. Maeda, T.
Yoshizumi, S. Nishijima, dan S. Miyoshi dari Angkatan Darat.
·
T: Sejauh mana Pak Nishijima mengenal
Bung Karno, Bung Hatta, Adam Malik, dan Ahmad Subarjo?
J: Saya mengenal Bung Karno dan Bung
Hatta di Jakarta. Ketika itu pemuda begitu berkobar. Sehingga saya menjadi
pengantara. Ketika itu saya sudah kenal baik sama Bung Karno dan Bung Hatta.
Saya bersama-sama pergi ke Makassar pada masa perang. Jadi ketika itu saya
terpaksa menjadi pengantara pemuda, Karni, dan Chairul Saleh. Bung Karno juga
baik sekali sama saya. Adam Malik melihat saya sebagai saudara. Saya juga
menganggap dia sebagai saudara. Dia bekas pejuang. Jadi saya menghargai
betul.Mr. Subarjo adalah sahabat baik saya. Dia menulis surat kepada saya pada
tanggal 18 Oktober 1954. Subarjo antara lain menulis, “Percayalah bahwa sampai
mati saya tak akan lupa teman-teman di Jepang yang dengan hati suci dan
sungguh-sungguh membantu kami dalam melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia. Hanya orang sedikit saja yang tahu menahu akan seluk-beluknya di
sekitar Proklamasi. Dan, sudah barang biasa dalam sejarah dunia bahwa di
belakang kejadian-kejadian yang sangat penting masih terbenam beberapa
faktor-faktor yang tak diketahui oleh umum. Seperti dalam Proclamation of
Independence daripada Amerika Serikat, baru saja belakangan hari ini diketahui
bahwa bukan Thomas Jefferson yang merancangkannya, tetapi seorang bernama
Thomas Paine yang menulis beberapa buku ilmu filsafat, seperti The Rights of
Man. Baru 150 tahun sesudah Proklamasi Kemerdekaan Amerika, orang mulai
mengetahui bahwaThomas Paine itu yang merancangkan kata-kata Declaration of
Independence itu.
Maka dari itu, penting sekali kalau
orang-orang seperti Tuan yang tahu betul seluk-beluknya Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia menulis feitennya (faktanya, penulis). Terserah kepada historicus
yang akan datang
untuk menulis dengan cara obyektif dan perasaan tanggung jawab terhadap
kebenaran, bagaimana terjadinya Proklamasi kita iti.”
Itu yang ditulis Subarjo. Adam Malik
sendiri pernah mengatakan kepada saya, 22 Desember 1976 di Hotel Takanawa
Prince, Tokyo, “Saya dengar dari Sdr. Sukarni almarhum bahwa Sdr. Nishijima
ikut serta merumuskan naskah proklamasi, dan saya mengerti sikap saudara yang
menutup hal itu terhadap Belanda untuk menolong Republik,” kata Adam Malik.
Bung Karno juga mengakui bahwa
orang-orang Jepang secara pribadi tidak sedikit yang ikut berjuang bersama-sama
bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan. Untuk menghargai jasa-jasa mereka,
khususnya Ichiki Tatsuo dan Yoshizumi Tomegoro, pada tanggal 15 Februari 1958,
ketika Bung Karno berada di Tokyo menyerahkan kepada saya teks sebuah prasasti
untuk disimpan di biara Buddha Shei Shoji di Minatoku, Tokyo.
Dear Sir,
BalasHapusMy apologies for the abrupt message.
My name is Kenichi Nishijima. I am the grand son of Shigetada Nishijima.
I know that my grand father used to live in Indonesia but I know so little about him and I would like to know more about him.
Coincidentally, currently, I am living in Jakarta for more than 4 years as an expat, I thought this would be a good opportunity to get to know about my grand father.
If there is any way to contact you, please let me know.
thank you and regards
Kenichi Nishijima