APRESIASI KARYA SENI TARI KREASI
NON-ETNIK
Apresiasi berawal dari kata appreciatie (bahasa belanda) atau appreciation (bahasa Inggris) yang
secara umum yang memiliki maksud to judge the value of understanding or enjoy
fully in the right way. Lebih spesifik lagi di jelaskan oleh soedarso S.P
seorang koreografer tari nasional, bahwa mengapresiasi seni adalah mengerti dan
menjadi sensitif terhadap segi-segi estetiknya sehingga mampu menikmati dan
menilai karya-karya tersebut dengan semestinya.
1.
Tari Modern Cinta &
Perjuangan (Didik Nini Towok)
Tari ini tidak menggunakan unsur gamelan (musik tradisi)
sepenuhnya. Ketika para penari memakai kostum kaos merah dan celana putih yang
mengasosiasikan pada warna bendera putih sehingga dapat terlihat kebebasan
berkostum yang merupakan unsur tari kreasi baru yang sifatnya nasional.
Koreografer dari tarian ini adalah
seorang koreogfer asal
Yogyakarta yang terkenal di tingkat nasional, bahkan internasional adalah Didik
Hadiprayitno atau lebih dikenal sebagai Didik Nini Thowok. Beliau membuat
tarian ini dengan menggunakan alat bantu berupa busana, make up (tata rias),
dan aksesoris.
Para penari tarian ini merupakan penari cross gender atau
female impersonators, yaitu istilah untuk yang diperankan laki-laki atau juga
sebaliknya.
2.
Tari Hutan Plastik
(Sardono W. Kusumo)
Hutan
plastik karya Sardono W kusumo telah beberapa kali di pentaskan dengan
melibatkan kolaborasi dari berbagai elemen seni (musik dan seni rupa). Meskipun
koreografi ini pertama kali di tampilkan tahun 1983 di Teater Arena, Taman
Ismail Marzuki, tetapi masih tetap konteksual dengan kehidupan orang Indonesia
sampai sekarang. Belum lama ini, Hutan
Plastik ditgampilkan lagi berkolaborasi dengan Ananda Sukarlan seorang pianis
piawai.
Ide
yang melatarbelakangi lahirnya koreografi Hutan Plastik adalah refleksi atas
keprihatinan Sardono akan nasib hutan yang terus berkurang dan dizalimi,
disamping produksi plastik yang merupakan bahan buatan yang tidak ramah
lingkungan.
Penampilan
kali ini dengan sentuhan baru dan tafsir baru terhadap plastik. Sementara
tafsir terhadap hutan tetap tidak berubah, bahkan lebih parah. Indonesia adalah
Negara yang memiliki hutan dalam jumlah yang terus menyusut setiap harinya.
Kebakaran hutan merupakan agenda tahunan yang entah mengapa tak kunjung
terpecahkan. Kasus illegal loging (pencurian kayu hutan) yang justru melibatkan
penjaga hutan (jagawana) terus berlanjut tanpa upaya pencegahan atau pemecahan
berarti dari pemerintah.
Plastik
kini digunakan hampir dalam seluruh kegiatan manusia. Plastik tidak hanya
berguna untuk keperluan di luar tubuh manusia, bahkan kini telah banyak manusia
yang memasukkan unsur plastik kedalam tubuhnya.
Perbedaan
dengan pentas sebelumnya terletak pada bagian akhir di hadirkan perempuan
plastik (waria) di panggung sebagai penegasan bahwa plastik bukan lagi benda
yang dimusuhi dan tidak ramah lingkungan, melainkan telah mempribadi.
Benar-benar menjdi pribadi sehingga manusia tidak lagi punya daya resistensi
(penolakan) terhadap masuknya unsur plastik kedalam tubuh mereka.
3.
In Front Of Papua (Jecko siompo)
Jecko
siompo adalah koreografer tari Infront of papua yang mana memandang tari tidak
lebih dari peristiwa sehari-hari, tempat dimana ekspresi-ekspresi cultural
suatu suku bangsa mendpatkan eksistensinya selain itu jecko menganggap bahwa
dunia tari adalah semacam bahasa pembebasan dari kenyataan kontemporer absurd
(samar-samar).
Jecko
menjadikan tarian ini untuk menunjukkan atau menobrak pandangan umum bahwa
papua tidak hanya identik dengan koteka
atau lelaki coreng-moreng namun papua adalah negeri yang patut dan berhak atas
segala pembaharuan dan pandangan.
Sehingga
ia bekerja atas dasar kesadaran tubuh dan bagaimana tubuh itu digunakan untuk
menari dan ia memiliki pandangan tersendiri tentang keprimitifan. Sehingga ia menciptakan gerak tari yang unik
dimana cenderung terlihat melakukan pengulangan secara berlebihan, seperti
pekikan, teriakan serta gerk-gerak patah (ciri khas tari papua). Tari Infront
Of Papua dari Jecko siompo bisa di anggap berangkat dari titik kesadaran akan
primitivisme itu.
4.
Kamu / JIJ (Gerard
Mosterd)
Tarian ini menggambarkan secara
imajinatif moralitas erotik ganda di dalam komunitas orang (Belanda-Indonesia).
Karya tari tersebut terinspirasi dari karya erotik Couperous "The Hidden
Power" dan juga perkembangan kontemporer dalam masyarakat
Belanda-Indonesia. seperti misalnya, peraturan pemerintah Indonesia dan
menetapkan bahwa eksibisi bermesraan di depan umum ataupun homoseksual di
Indonesia harus dihukum semacam sanksi.
Konsep / Koreografi :
Gerard Mosterd
Dramaturgi Saran : Jacqueline algra
Musik
: Paul Goodman, David Cunningham, Alva
Noto, dan Ryuichi
Cahaya :
Roland Van Meel / Gerard Mosterd
Tahap Desain : Wilhemus Vlug
Kostum
: Julija Zmijarevic
Video
: Wilhemus Vlug (penari: Anne May De
Lijser - Kay Patru)
Kakawin Puisi :
Diterjemahkan dari bahasa Jawa kuno oleh PJ Zoetmulder
Menari di Asia oleh :
Wendel Spier, Thao Nguyen, Loes Ruizeveld, Ederson
Rodriguez Xavier, Ming Wei Poon
Cast Tour Belanda asl : Wendel Spier, Thao Nguyen, Anne May De
Lijser (Loes
Ruizeveld), Rein Putkamer, (Ederson
R.Xavier), Kay Patru
Kru Teknis :
Roland Van Meel, Peter Zwicke, Marco Verduin, Remy Van
Wijngaarden, Teus Van Der Stelt
Publisitas : Inez Van Donselaar
Poster : DC
Manajer Produksi : Bas Rozenburg
Fin. Dir. / Manajemen : Anneke Huilmand
Panjangnya : 60 Menit
Sinopsis Tari
Tiba-tiba lampu padam. Di tengah kegelapan muncul sosok pria tinggi
besar dan plontos. Di bawah sorot lampu, lelaki tegap itu bergerak dan terus
bergerak di atas panggung. Bagaikan diterpa angin, tubuhnya begitu lentur
mengikuti irama musik dan sorot lampu.
Gerakan elastis selama
30 menit itu baru terhenti setelah seluruh lampu di dalam tempat pertunjukan
menyala terang. Penonton pun memberi aplaus panjang.
Itulah tarian berjudul
''Angin'' yang dibawakan Ming Wei Poon seorang diri. Koreografi karya
koreografer kondang Gerard Mosterd itu, Minggu (18/9) malam lalu, dipentaskan di
gedung Teater Besar STSI, Surakarta.
Ada dua karya yang
ditampilkan di gedung yang dipadati pengunjung itu. Selain ''Angin'', pria
kelahiran 1964 keturunan Indonesia-Belanda itu juga menyuguhkan tari yang
berjudul ''Kamu/Jij.''
Boleh jadi, masyarakat awam
sulit memahami pesan yang disampaikan Gerard Mosterd kepada para penonton, jika
tidak membaca sipnosis. Apalagi tarian kedua, ''Kamu/Jij'', yang nilainya jauh
lebih dalam dibanding tarian pertama. ''Kamu/Jij'' yang dibawakan lima penari,
yakni Ming Wei Poon, Wendel Spier, Thao Nyuyen, Loes Ruizeveld, dan Ederson
Rodriguez sanggup ''menyihir'' penonton sehingga tak beranjak dari tempat duduk
selama satu jam.
Ambiguitas Seksual
Gerard Mosterd yang
menyelesaikan studi balet klasik, tari rakyat, serta tari dan musik kontenporer
di Royal Conservatory di Den Haag Belanda, mencoba memadukan budaya Eropa dan
Asia yang banyak bertolak belakang dalam setiap karya koreografinya.
Dia yang sempat
bergabung dengan grup tari internasional seperti London Festival Ballet, Basel
Ballet, Royal Ballet of Flanders, dan Hwa Kang Dance di Taipei telah
mengimprovisasikan gerak lambat tari ''serimpi'' dalam modern dance karyanya.
''Kamu/Jij'' yang
merupakan interpretasi ambiguitas seksual masyarakat diinspirasi dari sebuah naskah
kolonial abad ke-19, ''The Hidden Power'' oleh Louis Couperus.
''Dia (Gerard Mosterd)
mengimprovisasikan ambiguitas itu dalam bentuk koreografi secara sempurna,''
kata salah seorang pengunjung usai pertunjukan.
Koreografi karya Gerard
Mosterd yang dipentaskan di gedung Teater Besar STSI, Surakarta, malam itu
merupakan bagian dari tur dunia yang disponsori Erasmus Huis.
Pencipta
tarian ini yaitu Gerard Mostrerd yang mana beliau mengintegrasikan
elemen-elemen teater tarian barat dab asia tenggara. Gerard beruapaya
mengontribusikan sebuah dialog kebudayaan kontemporer dan meningkatkan
pengertian secara khusus antara Belanda dan wilayah Asia Tenggara yang secara
colonial telah di perintah oleh Belanda selama lebih dari 350 tahun. Sebagai
generasi Eropa ke-3, Gerard meneliti proses integrasi kompleks dari
himounan pendatang india timur di
masyarakat Belanda dengan menggunakan pertunjukan kesenian sebagai medianya,
seperti tari Jij/Kamu.
Tarian
ini menggambarkan secara imajinatif moralitas erotic ganda di dalam komunitas
orang (Belanda-Indonesia), karya tari tersebut terinspirasi dari karya Erotic
Couperous “The Hidden Power” dan juga perkembangan kontemporer dalam masyarakat
(Belanda-Indonesia). Seperti misalnya peraturan pemerintah Indonesia yang
menetapkan bahwa eksibisi bermesraan di depan umum ataupun homoseksual di
Indonesia harus di hukum dengan semacam sanksi.
5.
Tari Konser Lelaki Super (Guruh Soekarno Putra)
Pada
sebuah konser guru yang berjudul konser lelaki super, sesuai dengan tema yang
glamor serta unsur kemachoan ikut mendominasi konser tersebut. Mulai dari artis pendukung, penari latar, dan konduktor
pertunjukan, sebagian besar dilakukan oleh para pria. Para penari latar yang
mempertontonkan otot-otot tubuh meraka yang kekar dan bertato. Barisan para
penari pria bertelanjang dada dan berotot kekar juga mempertontonkan
gerakan-gerakan artistik sekaligus sensual.
Menjelang pukul 21.00, "Konser Lelaki
Super" mulai bergulir. Dari sudut panggung tiga motor gede Harley Davidson
memasuki arena konser di Plenary Hall, JCC, Jakarta, Sabtu (24/5) malam. Pada
motor gede terakhir, penyanyi Nugie yang mengenakan kostum layaknya preman
dengan model rambutmohawk, duduk membonceng sembari mengancungkan lengan
kanan membentuk huruf V. Seiring dengan komposisi musik "Anak
Jalanan" karya Guruh Soekarno Putra yang diaransemen dengan alunan
orkestra Erwin Gutawa mengalun berbareng dengan warna vokal khas Nugie.
Begitu
lagu perdana paripurna, tembang "Burung Gereja" dan "Teman
Baikku" menyusul dengan iringan dari band Tohpati yang diaransemen dengan
nuansa hard rock yang pekat oleh Aminoto Kosin. Dengan style panggung
yang atraktif penyanyi yang juga motor dari grup band Alf itu menyihir lebih
kurang 5.000 audiens yang yang harus merogoh saku mereka untuk membeli karcis
pertunjukan dengan harga tidak murah. Beberapa jenak kemudian, bergilir Glenn
Fredy menembangkan "Lenggang Puspita", "Terpesona", dan
"Puspa Indah Taman Hati" dengan iringan penari latar yang menari
dengan apik dan akbar di bawah arahan penata gerak Alex Hassim.
Konser
yang dipersembahkan oleh Kinarya Gencar Semarak Perkasa (GSP) dengan dukungan
penuh dari Supermi itu semakin menjadi meriah dan memesona dengan kehadiran
pendangdur rock Alam dengan lagu andalan "Mbah Dukun" yang disulap
menjadi sebuah komposisi orkestra yang megah oleh Tohpati. Penampilan Alam yang
identik dengan joget ala raja pop Michael Jackson itu semakin menggila ketika
melantunkan. "Keranjingan Disco", sebuah lagu lawas karya Guruh SP
yang dibesut menjadi lain oleh band Tohpati dan diaransemen
oleh Meidy Ratnasari. Apalagi dengan tampilnya para penari latar dengan style dandanan
1970-an yang berkonfigurasi dengan tarian yang membuat mata enggan berpaling
karena menawarkan komposisi menggembirakan.
Mewah
"Konser
Lelaki Super" yang pada pertunjukan hari perdana dibeli oleh Telkomsel itu
memang dibuat dengan semangat khas Guruh Soekarno Putra. Setelah tahun lalu
sukses mementaskan Sri Panggung yang menampilkan para diva
perempuan Indonesia yang bersinar pada waktu itu. Dalam konser kali ini yang
menghabiskan biaya hingga Rp 2,5 miliar itu, Guruh yang juga bertindak sebagai
pengarah seni masih mengandalkan nuansa keakbaran, kolosal, dan tentu saja
kemewahan sebagai senjata ampuhnya memikat penonton.
Tidak
mengherankan, dengan harga tanda masuk untuk bangku VVIP yang dijual Rp
750.000, kemudian VIP Rp 495.000, kelas I Rp 395.000, kelas II Rp 195.000,
kelas III Rp 145.000, dan festival Rp 95.000 itu, konser yang membutuhkan
kekuatan daya listrik 50.000 watt dengan dan lebar panggung 18 x 20 x 5 meter
itu tetap dijejali penonton.
Bahkan,
kata Yessi Harianda selaku Deputy Director Internal Affair Kinarya GSP, 50
kursi VVIP diborong oleh keluarga Presiden. Demikian pula dengan keluarga Wakil
Presiden dan beberapa menteri, seperti Yusril Ihza Mahendra ikut nglarisikonser
itu. Apalagi dengan nuansa Bali yang hampir mendominasi setiap segmen penyanyi
yang tampil, tampaknya secara tersirat putra mendiang Presiden Pertama RI itu
ingin membawa pesan betapa Bali masih menjadi ikon tersendiri dalam peta
kesenian di Indonesia. Hal ini tampak semakin nyata dengan tampilnya Wong Pitoe
yang melantunkan "Galih dan Ratna", "Motor Kreditan", dan
"Kala Cinta Menggoda" dengan kostum yang Bali minded.
Demikian
pula dengan dandanan Chrisye yang anggun sembari mengalunkan suara emasnya yang
nelangsa menembangkan "Kala Sang Surya Tenggelam" dan
"Kalimantan". Pun dengan atraksi panggung yang jungkir balik Arman
Maulana dari grup band GIGI yang meneriakkan "Jenuh", "Andai",
"Rahasiaku", serta "Damai". Sungguh, di tangan dingin suami
dari Sabina Guseynova Padmavati itu "Konser Lelaki Super" yang juga
mengeksplorasi semangat maskulinitas itu menjadi sebuah pesta yang
ekstravagansa.
6.
Derap Jati Diri (Guruh
Soekarno Putra)
Pencipta
tari ini adalah Guruh Soekarno Putra yang mana mengambil tema dengan kenyataan
yang berkembang di tengah masyarakat yaitu politik Indonesia. Karya ini di
sajikan dalam rangka mengisi Pekan Raya Jakarta. Sehingga terian ini di
tampilkan setiap tahun sampai akhir tumbangnya rezim Orba pada tahun 1998.
7.
Tari Metaekologi (Sardono W Kusumo)
Tari metaekologi karya dari seniman tari yaitu Sardono W
Kusumo dengan judul “metaekologi”. Seniman ini terinspirasi dari suku Nias di
Sumatera Utara hasilnya, komposisi tari “metaekologi” pernah ia pentaskan yang
mencerminkan kepeduliannya terhadap lingkungan (1975). Tariannya ini buah
inspirasi setelah ia mendalami kehidupan Dayak dan Nias.
8.
Detik-Detik Tempo (Sardono W Kusumo)
Pencipta
tari detik-detik tempo adalah Sardono W Kusumo. Sardono mendapat inspirasi
untuk membuat tari soloensis berdasarkan penghormatan terhadap leluhur bangsa
Jawa yang hidup ratusan ribu tahun yang lalu di tepi bengawan Solo.
Perenungannya tentang masalah-masalah kehidupan urban (kota) melahirkan tarian
ini sebagai protes terhadap ‘pembredelan’ (pencabutan izin terbit) sebuah
majalah.
Menghadapi
masalah tenaga kerja Indonesia yang terlunta-lunta di luar negeri dan bom yang
meledak di tengah kehidupan sehari-hari melahirkan karya Nobady’s body.
Sardono W. Kusumo melempar problematika artistik dengan seni
tarinya : Detik………Detik ……Tempo. Seni tari tersebut melontarkan rasa sesal,
duka, dan simpatik atas terpasungnya proses kreatif dalam dunia jurnalistik,
sebagai reaksi dari seorang seniman terhadap pemberedelan tabloid Detik dan
mingguan berita Tempo.
Karya terpanjang Sardono W. Kusumo yang ditampilkan pada 3rd
Indonesian Dance Festival di GBB, 22 Oktober 1994. Digarap berdasarkan vokal
Sardono dan detik jam. Otto Sidharta menggarap instalasi suara. Garapan
dibawakan oleh Sardono dibantu penari STSI Surakarta. Selama 21600 detik,
Sardono menghayati detik demi detik setiap gerak dalam tempo yang amat lambat.
Dimensi waktu dan gerakan menjadi semakin diutamakan. Gerakannya semakin
inovatif dan berorientasi ke dalam proses menggalinya energi pada jaringan
otot. Pementasan ini juga dikenang sebagai bentuk keprihatinan atas dibreidel
tiga media massa pada saat itu, yaitu Tempo, Editor dan Detik.
9.
Sanggit (Bagong Kussuadiarjo)
Salah satu garapan Bagong Kussudiarjo
adalah tari Sanggit, karya koreografi satu ini layak
dikatakan sebagai karyamasterpiece. Di tangan sutradara Butet, Sanggit masih menggenggam sesuatu yang tidak
pernah basi, aktualitasnya terjaga di samping konsep
penyutradaraannya yang tidak banyak penyimpang dari konsep penyutradaraan
ayahnya. Tetapi Butet mencoba membangun improvisasi sebagai ramuan cendekia
sebagai penyeimbang situasi masa kini. Kesegaran dan humor-humor
yang mencuat membuat penontongeeerrr, Bukan karena konteks mencari
efek. Tetapi murni sebagai efek dramatisasi yang jujur dan bersih
Sanggit tak sekadar tontonan yang hanya
sekedar menghibur, atau menafsirkan sesuatu dicari-cari. Melainkan menjadi
semacam peringatan sekaligus ajakan bagi insan yang masih diberi
kesempatan menikmati nafas dari denyut jantung di alam madya. Ia juga mengajak
kita agar tidak lupa diri bahwasanya kekuasaan, pangkat, materi dan ikhwal
kenikmatan keduniawian hanyalah bersifat sementara. Tidak ada keabadian
di alam madya yang penuh pernik, Ini tersirat dari Sanggit, sebuah
renungan Bagong Kussudiardjo, yang diekspresikan melalui koreografinya yang
indah. Peringatan dan ajakan , Bagong Kussudiardjo, bisa saja berurutan
lewat macapatan atau tembang puisi Jawa, gerak tari, dialog, musik dan
pengadeganan di atas panggung serta musik garapan yang meledak-ledak. Menandai
karya maestro tari yang satu ini tak pernah sunyi kendati ia telah dipanggil
Tuhan.
Salah satu garapan Bagong Kussudiarjo
adalah tari Sanggit, karya koreografi satu ini layak dikatakan sebagai
karyamasterpiece. Sanggit pernah dipentaskan oleh Kelompok Tari ‘Padepokan
Bagong Kussudiardjo’ di TIM beberapa tahun silam. Karya tersebut kini menjadi
warisan berharga bagi padepokan yang pernah dipimpinnya semasa masih hidup.
Karya tersebut baru baru ini diulang pentaskan pada Agustus 2005 di TIM. Dalam
kaitannya memperingati 1000 hari wafatnya seniman besar Bagong Kusudiardjo.
Disutradarai oleh putranya, Butet Kartaradjasa, seniman muda serba bisa yang
mewarisi darah seni ayahnya. Sanggit masih seperti dulu, sebagaimana karya
Bagong yang cerdas dan manusiawi.
Di tangan sutradara Butet, Sanggit
masih menggenggam sesuatu yang tidak pernah basi, aktualitasnya terjaga di
samping konsep penyutradaraannya yang tidak banyak penyimpang dari konsep
penyutradaraan ayahnya. Tetapi Butet mencoba membangun improvisasi sebagai
ramuan cendekia sebagai penyeimbang
situasi masa kini. Kesegaran dan humor-humor yang mencuat membuat penontongeeerrr,
Bukan karena konteks mencari efek. Tetapi murni sebagai efek dramatisasi yang
jujur dan bersih.
Sanggit tak sekadar tontonan yang hanya
sekedar menghibur, atau menafsirkan sesuatu dicari-cari. Melainkan menjadi
semacam peringatan sekaligus ajakan bagi insan yang masih diberi kesempatan
menikmati nafas dari denyut jantung di alam madya. Ia juga mengajak kita agar
tidak lupa diri bahwasanya kekuasaan, pangkat, materi dan ikhwal
kenikmatan keduniawian hanyalah bersifat
sementara. Tidak ada keabadian di alam madya yang penuh pernik, Ini
tersirat dari Sanggit, sebuah renungan
Bagong Kussudiardjo, yang diekspresikan melalui koreografinya yang indah.
Peringatan dan ajakan , Bagong Kussudiardjo, bisa saja berurutan lewat
macapatan atau tembang puisi Jawa, gerak
tari, dialog, musik dan pengadeganan di atas panggung serta musik garapan yang
meledak-ledak. Menandai karya maestro tari yang satu ini tak pernah sunyi
kendati ia telah dipanggil Tuhan.
10.
Tari Lorong (Bambang Besur Suryo)
Lorong
diciptakan oleh Bambang Besur Suryono. Ia Lahir di Surakarta,
Jawa Tengah, 26 oktober 1960. Aktif di dunia seni tari sejak tahun 1980-an.
belajar menari seperti Bedhaya, Srimpi dan Wireng dan tari klasik lainnya
pertama kalinya di Istana Pura Mangkunegaran dan Kasunanan. Selanjutnya ia
memperdalam ilmu tarinya pada Sardono W. Kusumo dalam kelompok Sardono Dance
Theatre selama 18 tahun.
Selama menjadi penari, sudah beberapa kali ia
membawakan sejumlah karya tari antara lain tari Panca Mahabhuta di Jenewa,
Swiss (1988), Detik-Detik Tempo karya koreografer Sardono W. Kusumo di Indonesian
Dance Festival, Jakarta (1955), Opera Diponegoro karya koreografer
Sardono W. Kusumo di Art Summit Indonesia, Jakarta (1995), Passage Through The
Gong karya koreografer Sardono W. Kusumo, Tanz Vienna Festival, Austria (1996),
Soloensis karya koreografer Sardono W. Kusumo di Jerman dan Korea Selatan
(1997).
Selain
dikenal sebagai penari, ia juga dikenal sebagai seorang koreografer handal,
banyak karya tarinya diikutkan sertakan dalam berbagai festival nasional maupun
Internasional. Karya koreografi tari yang telah diciptakannya antara lain Ramayana
Uttarakanda (1981), Sudamala (1984), Siwa Ratri
Kalpa (1984), Durga Uma (1985), Arjuna
Wiwaha (1986), Ramayana (1989) Arjuna Wijaya
(1994), dan Bedhaya Layar Cheng Ho (2004), dll.
Karya tari Bedhaya Layar Cheng Ho
yang dipentaskan pada Indonesian Dance Fastival VII di Taman Ismail Marzuki
tahun 2004 adalah karya tari yang memadukan antara budaya Cina dan Jawa
berdasarkan sejarah pelayaran Cheng Ho. Ide awal Bedhaya Layar Cheng Ho muncul
setelah Bambang Besur membaca naskah drama Cheng Ho karya Kuo Pao Kun, pendiri
Theatre Training & Research Programme, ia lalu memperkaya pengetahuan
dengan buku Chinese Eunuchs karya Taisuke Mitamura, buku yang banyak
mengisahkan kehidupan para kasim. Bedhaya Layar Cheng Ho juga
merupakan karyanya pada saat ujian akhir pascasarjana di Sekolah Tinggi Seni
Indonesia, Surakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar