WELCOME TO MY BLOG.

Sabtu, 21 September 2013

APRESIASI KARYA SENI TARI KREASI NON-ETNIK


APRESIASI KARYA SENI TARI KREASI
NON-ETNIK
      Apresiasi berawal dari kata appreciatie (bahasa belanda) atau appreciation (bahasa Inggris) yang secara umum yang memiliki maksud to judge the value of understanding or enjoy fully in the right way. Lebih spesifik lagi di jelaskan oleh soedarso S.P seorang koreografer tari nasional, bahwa mengapresiasi seni adalah mengerti dan menjadi sensitif terhadap segi-segi estetiknya sehingga mampu menikmati dan menilai karya-karya tersebut dengan semestinya.

1.         Tari Modern Cinta & Perjuangan (Didik Nini Towok)

Tari ini tidak menggunakan unsur gamelan (musik tradisi) sepenuhnya. Ketika para penari memakai kostum kaos merah dan celana putih yang mengasosiasikan pada warna bendera putih sehingga dapat terlihat kebebasan berkostum yang merupakan unsur tari kreasi baru yang sifatnya nasional.
Koreografer dari tarian ini adalah
seorang koreogfer asal Yogyakarta yang terkenal di tingkat nasional, bahkan internasional adalah Didik Hadiprayitno atau lebih dikenal sebagai Didik Nini Thowok. Beliau membuat tarian ini dengan menggunakan alat bantu berupa busana, make up (tata rias), dan aksesoris.
Para penari tarian ini merupakan penari cross gender atau female impersonators, yaitu istilah untuk yang diperankan laki-laki atau juga sebaliknya.  
2.      Tari Hutan Plastik (Sardono W. Kusumo)


Hutan plastik karya Sardono W kusumo telah beberapa kali di pentaskan dengan melibatkan kolaborasi dari berbagai elemen seni (musik dan seni rupa). Meskipun koreografi ini pertama kali di tampilkan tahun 1983 di Teater Arena, Taman Ismail Marzuki, tetapi masih tetap konteksual dengan kehidupan orang Indonesia sampai sekarang.  Belum lama ini, Hutan Plastik ditgampilkan lagi berkolaborasi dengan Ananda Sukarlan seorang pianis piawai.
Ide yang melatarbelakangi lahirnya koreografi Hutan Plastik adalah refleksi atas keprihatinan Sardono akan nasib hutan yang terus berkurang dan dizalimi, disamping produksi plastik yang merupakan bahan buatan yang tidak ramah lingkungan.
Penampilan kali ini dengan sentuhan baru dan tafsir baru terhadap plastik. Sementara tafsir terhadap hutan tetap tidak berubah, bahkan lebih parah. Indonesia adalah Negara yang memiliki hutan dalam jumlah yang terus menyusut setiap harinya. Kebakaran hutan merupakan agenda tahunan yang entah mengapa tak kunjung terpecahkan. Kasus illegal loging (pencurian kayu hutan) yang justru melibatkan penjaga hutan (jagawana) terus berlanjut tanpa upaya pencegahan atau pemecahan berarti dari pemerintah.
Plastik kini digunakan hampir dalam seluruh kegiatan manusia. Plastik tidak hanya berguna untuk keperluan di luar tubuh manusia, bahkan kini telah banyak manusia yang memasukkan unsur plastik kedalam tubuhnya.
Perbedaan dengan pentas sebelumnya terletak pada bagian akhir di hadirkan perempuan plastik (waria) di panggung sebagai penegasan bahwa plastik bukan lagi benda yang dimusuhi dan tidak ramah lingkungan, melainkan telah mempribadi. Benar-benar menjdi pribadi sehingga manusia tidak lagi punya daya resistensi (penolakan) terhadap masuknya unsur plastik kedalam tubuh mereka.
3.      In Front Of Papua (Jecko siompo)


Jecko siompo adalah koreografer tari Infront of papua yang mana memandang tari tidak lebih dari peristiwa sehari-hari, tempat dimana ekspresi-ekspresi cultural suatu suku bangsa mendpatkan eksistensinya selain itu jecko menganggap bahwa dunia tari adalah semacam bahasa pembebasan dari kenyataan kontemporer absurd (samar-samar).
Jecko menjadikan tarian ini untuk menunjukkan atau menobrak pandangan umum bahwa papua tidak hanya  identik dengan koteka atau lelaki coreng-moreng namun papua adalah negeri yang patut dan berhak atas segala pembaharuan dan pandangan.
Sehingga ia bekerja atas dasar kesadaran tubuh dan bagaimana tubuh itu digunakan untuk menari dan ia memiliki pandangan tersendiri tentang keprimitifan.  Sehingga ia menciptakan gerak tari yang unik dimana cenderung terlihat melakukan pengulangan secara berlebihan, seperti pekikan, teriakan serta gerk-gerak patah (ciri khas tari papua). Tari Infront Of Papua dari Jecko siompo bisa di anggap berangkat dari titik kesadaran akan primitivisme itu. 
4.      Kamu / JIJ (Gerard Mosterd)


Tarian ini menggambarkan secara imajinatif moralitas erotik ganda di dalam komunitas orang (Belanda-Indonesia). Karya tari tersebut terinspirasi dari karya erotik Couperous "The Hidden Power" dan juga perkembangan kontemporer dalam masyarakat Belanda-Indonesia. seperti misalnya, peraturan pemerintah Indonesia dan menetapkan bahwa eksibisi bermesraan di depan umum ataupun homoseksual di Indonesia harus dihukum semacam sanksi.
Konsep / Koreografi            :    Gerard Mosterd
Dramaturgi Saran    :    Jacqueline algra
Musik                          :    Paul Goodman, David Cunningham, Alva Noto, dan  Ryuichi                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              
Cahaya                     :    Roland Van Meel / Gerard Mosterd
Tahap Desain            :    Wilhemus Vlug
Kostum                       :    Julija Zmijarevic
Video                         :    Wilhemus Vlug (penari: Anne May De Lijser - Kay Patru)
Kakawin Puisi                        :     Diterjemahkan dari bahasa Jawa kuno oleh PJ Zoetmulder
Menari di Asia oleh :     Wendel Spier, Thao Nguyen, Loes Ruizeveld, Ederson
                                           Rodriguez Xavier, Ming Wei Poon
Cast Tour Belanda asl :    Wendel Spier, Thao Nguyen, Anne May De Lijser (Loes
                                                   Ruizeveld), Rein Putkamer, (Ederson R.Xavier), Kay Patru

Kru Teknis                   :     Roland Van Meel, Peter Zwicke, Marco Verduin, Remy Van
                                           Wijngaarden, Teus Van Der Stelt
Publisitas                     :     Inez Van Donselaar
Poster                                      :     DC
Manajer Produksi     :     Bas Rozenburg
Fin. Dir. / Manajemen :    Anneke Huilmand
Panjangnya              :    60 Menit

Sinopsis Tari
Tiba-tiba lampu padam. Di tengah kegelapan muncul sosok pria tinggi besar dan plontos. Di bawah sorot lampu, lelaki tegap itu bergerak dan terus bergerak di atas panggung. Bagaikan diterpa angin, tubuhnya begitu lentur mengikuti irama musik dan sorot lampu.
Gerakan elastis selama 30 menit itu baru terhenti setelah seluruh lampu di dalam tempat pertunjukan menyala terang. Penonton pun memberi aplaus panjang.
Itulah tarian berjudul ''Angin'' yang dibawakan Ming Wei Poon seorang diri. Koreografi karya koreografer kondang Gerard Mosterd itu, Minggu (18/9) malam lalu, dipentaskan di gedung Teater Besar STSI, Surakarta.
Ada dua karya yang ditampilkan di gedung yang dipadati pengunjung itu. Selain ''Angin'', pria kelahiran 1964 keturunan Indonesia-Belanda itu juga menyuguhkan tari yang berjudul ''Kamu/Jij.''
Boleh jadi, masyarakat awam sulit memahami pesan yang disampaikan Gerard Mosterd kepada para penonton, jika tidak membaca sipnosis. Apalagi tarian kedua, ''Kamu/Jij'', yang nilainya jauh lebih dalam dibanding tarian pertama. ''Kamu/Jij'' yang dibawakan lima penari, yakni Ming Wei Poon, Wendel Spier, Thao Nyuyen, Loes Ruizeveld, dan Ederson Rodriguez sanggup ''menyihir'' penonton sehingga tak beranjak dari tempat duduk selama satu jam.
Ambiguitas Seksual
Gerard Mosterd yang menyelesaikan studi balet klasik, tari rakyat, serta tari dan musik kontenporer di Royal Conservatory di Den Haag Belanda, mencoba memadukan budaya Eropa dan Asia yang banyak bertolak belakang dalam setiap karya koreografinya.
Dia yang sempat bergabung dengan grup tari internasional seperti London Festival Ballet, Basel Ballet, Royal Ballet of Flanders, dan Hwa Kang Dance di Taipei telah mengimprovisasikan gerak lambat tari ''serimpi'' dalam modern dance karyanya.
''Kamu/Jij'' yang merupakan interpretasi ambiguitas seksual masyarakat diinspirasi dari sebuah naskah kolonial abad ke-19, ''The Hidden Power'' oleh Louis Couperus.
''Dia (Gerard Mosterd) mengimprovisasikan ambiguitas itu dalam bentuk koreografi secara sempurna,'' kata salah seorang pengunjung usai pertunjukan.
Koreografi karya Gerard Mosterd yang dipentaskan di gedung Teater Besar STSI, Surakarta, malam itu merupakan bagian dari tur dunia yang disponsori Erasmus Huis.
Pencipta tarian ini yaitu Gerard Mostrerd yang mana beliau mengintegrasikan elemen-elemen teater tarian barat dab asia tenggara. Gerard beruapaya mengontribusikan sebuah dialog kebudayaan kontemporer dan meningkatkan pengertian secara khusus antara Belanda dan wilayah Asia Tenggara yang secara colonial telah di perintah oleh Belanda selama lebih dari 350 tahun. Sebagai generasi Eropa ke-3, Gerard meneliti proses integrasi kompleks dari himounan  pendatang india timur di masyarakat Belanda dengan menggunakan pertunjukan kesenian sebagai medianya, seperti tari Jij/Kamu.
Tarian ini menggambarkan secara imajinatif moralitas erotic ganda di dalam komunitas orang (Belanda-Indonesia), karya tari tersebut terinspirasi dari karya Erotic Couperous “The Hidden Power” dan juga perkembangan kontemporer dalam masyarakat (Belanda-Indonesia). Seperti misalnya peraturan pemerintah Indonesia yang menetapkan bahwa eksibisi bermesraan di depan umum ataupun homoseksual di Indonesia harus di hukum dengan semacam sanksi.
5.      Tari Konser Lelaki Super (Guruh Soekarno Putra)


Pada sebuah konser guru yang berjudul konser lelaki super, sesuai dengan tema yang glamor serta unsur kemachoan ikut mendominasi konser tersebut. Mulai dari  artis pendukung, penari latar, dan konduktor pertunjukan, sebagian besar dilakukan oleh para pria. Para penari latar yang mempertontonkan otot-otot tubuh meraka yang kekar dan bertato. Barisan para penari pria bertelanjang dada dan berotot kekar juga mempertontonkan gerakan-gerakan artistik sekaligus sensual.
Menjelang pukul 21.00, "Konser Lelaki Super" mulai bergulir. Dari sudut panggung tiga motor gede Harley Davidson memasuki arena konser di Plenary Hall, JCC, Jakarta, Sabtu (24/5) malam. Pada motor gede terakhir, penyanyi Nugie yang mengenakan kostum layaknya preman dengan model rambutmohawk, duduk membonceng sembari mengancungkan lengan kanan membentuk huruf V. Seiring dengan komposisi musik "Anak Jalanan" karya Guruh Soekarno Putra yang diaransemen dengan alunan orkestra Erwin Gutawa mengalun berbareng dengan warna vokal khas Nugie.
Begitu lagu perdana paripurna, tembang "Burung Gereja" dan "Teman Baikku" menyusul dengan iringan dari band Tohpati yang diaransemen dengan nuansa hard rock yang pekat oleh Aminoto Kosin. Dengan style panggung yang atraktif penyanyi yang juga motor dari grup band Alf itu menyihir lebih kurang 5.000 audiens yang yang harus merogoh saku mereka untuk membeli karcis pertunjukan dengan harga tidak murah. Beberapa jenak kemudian, bergilir Glenn Fredy menembangkan "Lenggang Puspita", "Terpesona", dan "Puspa Indah Taman Hati" dengan iringan penari latar yang menari dengan apik dan akbar di bawah arahan penata gerak Alex Hassim.
Konser yang dipersembahkan oleh Kinarya Gencar Semarak Perkasa (GSP) dengan dukungan penuh dari Supermi itu semakin menjadi meriah dan memesona dengan kehadiran pendangdur rock Alam dengan lagu andalan "Mbah Dukun" yang disulap menjadi sebuah komposisi orkestra yang megah oleh Tohpati. Penampilan Alam yang identik dengan joget ala raja pop Michael Jackson itu semakin menggila ketika melantunkan. "Keranjingan Disco", sebuah lagu lawas karya Guruh SP yang dibesut menjadi lain oleh band Tohpati dan diaransemen oleh Meidy Ratnasari. Apalagi dengan tampilnya para penari latar dengan style dandanan 1970-an yang berkonfigurasi dengan tarian yang membuat mata enggan berpaling karena menawarkan komposisi menggembirakan.
Mewah
"Konser Lelaki Super" yang pada pertunjukan hari perdana dibeli oleh Telkomsel itu memang dibuat dengan semangat khas Guruh Soekarno Putra. Setelah tahun lalu sukses mementaskan Sri Panggung yang menampilkan para diva perempuan Indonesia yang bersinar pada waktu itu. Dalam konser kali ini yang menghabiskan biaya hingga Rp 2,5 miliar itu, Guruh yang juga bertindak sebagai pengarah seni masih mengandalkan nuansa keakbaran, kolosal, dan tentu saja kemewahan sebagai senjata ampuhnya memikat penonton.
Tidak mengherankan, dengan harga tanda masuk untuk bangku VVIP yang dijual Rp 750.000, kemudian VIP Rp 495.000, kelas I Rp 395.000, kelas II Rp 195.000, kelas III Rp 145.000, dan festival Rp 95.000 itu, konser yang membutuhkan kekuatan daya listrik 50.000 watt dengan dan lebar panggung 18 x 20 x 5 meter itu tetap dijejali penonton.
Bahkan, kata Yessi Harianda selaku Deputy Director Internal Affair Kinarya GSP, 50 kursi VVIP diborong oleh keluarga Presiden. Demikian pula dengan keluarga Wakil Presiden dan beberapa menteri, seperti Yusril Ihza Mahendra ikut nglarisikonser itu. Apalagi dengan nuansa Bali yang hampir mendominasi setiap segmen penyanyi yang tampil, tampaknya secara tersirat putra mendiang Presiden Pertama RI itu ingin membawa pesan betapa Bali masih menjadi ikon tersendiri dalam peta kesenian di Indonesia. Hal ini tampak semakin nyata dengan tampilnya Wong Pitoe yang melantunkan "Galih dan Ratna", "Motor Kreditan", dan "Kala Cinta Menggoda" dengan kostum yang Bali minded.
Demikian pula dengan dandanan Chrisye yang anggun sembari mengalunkan suara emasnya yang nelangsa menembangkan "Kala Sang Surya Tenggelam" dan "Kalimantan". Pun dengan atraksi panggung yang jungkir balik Arman Maulana dari grup band GIGI yang meneriakkan "Jenuh", "Andai", "Rahasiaku", serta "Damai". Sungguh, di tangan dingin suami dari Sabina Guseynova Padmavati itu "Konser Lelaki Super" yang juga mengeksplorasi semangat maskulinitas itu menjadi sebuah pesta yang ekstravagansa.

6.      Derap Jati Diri  (Guruh Soekarno Putra)
Pencipta tari ini adalah Guruh Soekarno Putra yang mana mengambil tema dengan kenyataan yang berkembang di tengah masyarakat yaitu politik Indonesia. Karya ini di sajikan dalam rangka mengisi Pekan Raya Jakarta. Sehingga terian ini di tampilkan setiap tahun sampai akhir tumbangnya rezim Orba pada tahun 1998.
7.       Tari Metaekologi (Sardono W Kusumo)


Tari metaekologi karya dari seniman tari yaitu Sardono W Kusumo dengan judul “metaekologi”. Seniman ini terinspirasi dari suku Nias di Sumatera Utara hasilnya, komposisi tari “metaekologi” pernah ia pentaskan yang mencerminkan kepeduliannya terhadap lingkungan (1975). Tariannya ini buah inspirasi setelah ia mendalami kehidupan Dayak dan Nias.
8.      Detik-Detik Tempo (Sardono W Kusumo)

Pencipta tari detik-detik tempo adalah Sardono W Kusumo. Sardono mendapat inspirasi untuk membuat tari soloensis berdasarkan penghormatan terhadap leluhur bangsa Jawa yang hidup ratusan ribu tahun yang lalu di tepi bengawan Solo. Perenungannya tentang masalah-masalah kehidupan urban (kota) melahirkan tarian ini sebagai protes terhadap ‘pembredelan’ (pencabutan izin terbit) sebuah majalah.
Menghadapi masalah tenaga kerja Indonesia yang terlunta-lunta di luar negeri dan bom yang meledak di tengah kehidupan sehari-hari melahirkan karya Nobady’s body.
Sardono W. Kusumo melempar problematika artistik dengan seni tarinya : Detik………Detik ……Tempo. Seni tari tersebut melontarkan rasa sesal, duka, dan simpatik atas terpasungnya proses kreatif dalam dunia jurnalistik, sebagai reaksi dari seorang seniman terhadap pemberedelan tabloid Detik dan mingguan berita Tempo.
Karya terpanjang Sardono W. Kusumo yang ditampilkan pada 3rd Indonesian Dance Festival di GBB, 22 Oktober 1994. Digarap berdasarkan vokal Sardono dan detik jam. Otto Sidharta menggarap instalasi suara. Garapan dibawakan oleh Sardono dibantu penari STSI Surakarta. Selama 21600 detik, Sardono menghayati detik demi detik setiap gerak dalam tempo yang amat lambat. Dimensi waktu dan gerakan menjadi semakin diutamakan. Gerakannya semakin inovatif dan berorientasi ke dalam proses menggalinya energi pada jaringan otot. Pementasan ini juga dikenang sebagai bentuk keprihatinan atas dibreidel tiga media massa pada saat itu, yaitu Tempo, Editor dan Detik.
9.      Sanggit  (Bagong Kussuadiarjo)



Salah satu garapan Bagong Kussudiarjo adalah tari Sanggit, karya koreografi satu ini layak dikatakan sebagai karyamasterpiece. Di tangan sutradara Butet, Sanggit masih menggenggam sesuatu yang tidak pernah basi, aktualitasnya terjaga di samping konsep penyutradaraannya yang tidak banyak penyimpang dari konsep penyutradaraan ayahnya. Tetapi Butet mencoba membangun improvisasi sebagai ramuan cendekia   sebagai penyeimbang situasi masa kini. Kesegaran dan humor-humor yang mencuat membuat penontongeeerrr, Bukan karena konteks mencari efek. Tetapi murni sebagai efek dramatisasi yang jujur dan bersih
Sanggit tak sekadar tontonan yang hanya sekedar menghibur, atau menafsirkan sesuatu dicari-cari. Melainkan menjadi semacam peringatan sekaligus ajakan bagi insan yang masih diberi kesempatan menikmati nafas dari denyut jantung di alam madya. Ia juga mengajak kita agar tidak lupa diri bahwasanya kekuasaan, pangkat, materi dan ikhwal kenikmatan  keduniawian hanyalah bersifat sementara. Tidak ada keabadian di alam madya yang penuh pernik, Ini tersirat  dari Sanggit, sebuah renungan Bagong Kussudiardjo, yang diekspresikan melalui koreografinya yang indah. Peringatan dan ajakan , Bagong Kussudiardjo, bisa saja berurutan lewat macapatan atau tembang puisi Jawa,  gerak tari, dialog, musik dan pengadeganan di atas panggung serta musik garapan yang meledak-ledak. Menandai karya maestro tari yang satu ini tak pernah sunyi kendati ia telah dipanggil Tuhan.
Salah satu garapan Bagong Kussudiarjo adalah tari Sanggit, karya koreografi satu ini layak dikatakan sebagai karyamasterpiece. Sanggit pernah dipentaskan oleh Kelompok Tari ‘Padepokan Bagong Kussudiardjo’ di TIM beberapa tahun silam. Karya tersebut kini menjadi warisan berharga bagi padepokan yang pernah dipimpinnya semasa masih hidup. Karya tersebut baru baru ini diulang pentaskan pada Agustus 2005 di TIM. Dalam kaitannya memperingati 1000 hari wafatnya seniman besar Bagong Kusudiardjo. Disutradarai oleh putranya, Butet Kartaradjasa, seniman muda serba bisa yang mewarisi darah seni ayahnya. Sanggit masih seperti dulu, sebagaimana karya Bagong yang cerdas dan manusiawi.
Di tangan sutradara Butet, Sanggit masih menggenggam sesuatu yang tidak pernah basi, aktualitasnya terjaga di samping konsep penyutradaraannya yang tidak banyak penyimpang dari konsep penyutradaraan ayahnya. Tetapi Butet mencoba membangun improvisasi sebagai ramuan cendekia   sebagai penyeimbang situasi masa kini. Kesegaran dan humor-humor yang mencuat membuat penontongeeerrr, Bukan karena konteks mencari efek. Tetapi murni sebagai efek dramatisasi yang jujur dan bersih.
Sanggit tak sekadar tontonan yang hanya sekedar menghibur, atau menafsirkan sesuatu dicari-cari. Melainkan menjadi semacam peringatan sekaligus ajakan bagi insan yang masih diberi kesempatan menikmati nafas dari denyut jantung di alam madya. Ia juga mengajak kita agar tidak lupa diri bahwasanya kekuasaan, pangkat, materi dan ikhwal kenikmatan  keduniawian hanyalah bersifat sementara. Tidak ada keabadian di alam madya yang penuh pernik, Ini tersirat  dari Sanggit, sebuah renungan Bagong Kussudiardjo, yang diekspresikan melalui koreografinya yang indah. Peringatan dan ajakan , Bagong Kussudiardjo, bisa saja berurutan lewat macapatan atau tembang puisi Jawa,  gerak tari, dialog, musik dan pengadeganan di atas panggung serta musik garapan yang meledak-ledak. Menandai karya maestro tari yang satu ini tak pernah sunyi kendati ia telah dipanggil Tuhan.
10.    Tari Lorong (Bambang Besur Suryo)

  Lorong adalah sebuah tarian yang terinspirasi dari seorang wanita Jawa yang berkelana ke daerah lain,yaitu Kalimantan untuk mencari pekerjaan,namun malah berakhir di dunia prostitusi.
Lorong diciptakan oleh Bambang Besur Suryono. Ia Lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 26 oktober 1960. Aktif di dunia seni tari sejak tahun 1980-an. belajar menari seperti Bedhaya, Srimpi dan Wireng dan tari klasik lainnya pertama kalinya di Istana Pura Mangkunegaran dan Kasunanan. Selanjutnya ia memperdalam ilmu tarinya pada Sardono W. Kusumo dalam kelompok Sardono Dance Theatre selama 18 tahun.
 Selama menjadi penari, sudah beberapa kali ia membawakan sejumlah karya tari antara lain tari Panca Mahabhuta di Jenewa, Swiss (1988), Detik-Detik Tempo karya koreografer Sardono W. Kusumo di Indonesian Dance Festival, Jakarta (1955),  Opera Diponegoro karya koreografer Sardono W. Kusumo di Art Summit Indonesia, Jakarta (1995), Passage Through The Gong karya koreografer Sardono W. Kusumo, Tanz Vienna Festival, Austria (1996), Soloensis karya koreografer Sardono W. Kusumo di Jerman dan Korea Selatan (1997).
Selain dikenal sebagai penari, ia juga dikenal sebagai seorang koreografer handal, banyak karya tarinya diikutkan sertakan dalam berbagai festival nasional maupun Internasional. Karya koreografi tari yang telah diciptakannya antara lain Ramayana Uttarakanda (1981), Sudamala (1984), Siwa Ratri Kalpa (1984), Durga Uma (1985), Arjuna Wiwaha (1986), Ramayana (1989) Arjuna Wijaya (1994), dan Bedhaya Layar Cheng Ho (2004), dll.
Karya tari Bedhaya Layar Cheng Ho yang dipentaskan pada Indonesian Dance Fastival VII di Taman Ismail Marzuki tahun 2004 adalah karya tari yang memadukan antara budaya Cina dan Jawa berdasarkan sejarah pelayaran Cheng Ho. Ide awal Bedhaya Layar Cheng Ho muncul setelah Bambang Besur membaca naskah drama Cheng Ho karya Kuo Pao Kun, pendiri Theatre Training & Research Programme, ia lalu memperkaya pengetahuan dengan buku Chinese Eunuchs karya Taisuke Mitamura, buku yang banyak mengisahkan kehidupan para kasim. Bedhaya Layar Cheng Ho juga merupakan karyanya pada saat ujian akhir pascasarjana di Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Surakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar